Sabtu, 08 Agustus 2020

Dream pararel #2: Jadi Peter Pan

Peter Pan Images, Stock Photos & Vectors | Shutterstock
Jadi, pagi ini, sebelum adzan subuh berkumandang aku bermimpi sesuatu yang unik, malahan menurutku indah dan menyenangkan.

Aku bermimpi aku bisa terbang. Terbang bebas di angkasa. Seperti Peter Pan dari Neverland, tokoh film anak-anak memukau yang kutonton bersama saudara-saudaraku waktu kita masih kecil. Kurasa saat itu aku masih SMP dan sampai saat ini film Peter Pan versi modernnya masih tetap memukau aku .
Aku nggak begitu ingat permulaan mimpinya, tapi sepertinya sebelum 'adegan' terbang, aku memimpikan kampung halaman(emak)ku yang kudatangi bersama ayah waktu aku masih TK.

Pemandangan kampung yang kukunjungi berbeda dengan realita yang kudatangi waktu TK. Tapi perasaannya sama. Feel like home dengan mama-mama dan etek-amai yang ramah dan rasa yang minang banget.
Aku ingat kepulanganku waktu TK terasa menyenangkan banget. Aku masih kecil dan semua orang ramah padaku. Mereka memperlakukanku seperti anaknya sendiri (yaiyalah!).

Dalam mimpiku, Kampuang Panjang terlihat sebagai area yang luas, bukan rumah besar tradisional yang terbangun rapat, dekat dengan rumah-rumah lainnya, nggak. Tapi di areal tanah yang luas berumput itu berdiri rumah-rumah kayu satu lantai yang bukan rumah panggung (aneh ya? Padahal rumah di Padang biasanya rumah panggung) dengan mama-mama yang sedang menjemur cucian, atau menampi beras, menyapu teras, menumbuk beras di alu-lesung, dll.

Setiap kali aku lewat, mama-mama ini akan menyapaku dengan ramah. Kurasa di halaman rumah mereka juga ada parabola besar, satu hal lain yang familiar dan korelasi dengan realitanya.

Pokoknya aku berjalan lama, sebelum sampai ke inti cerita ini, adegan terbangnya. Kampung dalam mimpiku ini lebih pantas dan cocok di namai 'Kampung Panjang' karena kampung ini begitu luas dan panjang secara harfiah ketimbang fakta yang kudapatkan di dunia nyata. Dalam mimpiku ini, ada banyak pohon kelapa yang tumbuh rendah, cuma tiga meteran tapi berdaun rimbun sehingga teduh seperti pohon mangga (aneh ya?) dan jarak antar rumah bisa 3-10 meter, berbeda dengan kenyataannya yang cuma sekitar 0-5 meter-an.

Pokoknya mimpi terus berlanjut. Bisa jadi aku masuk ke dalam mimpi berikutnya yang sama sekali berbeda, atau bisa jadi sama aja?

Entahlah, yang mengarsiteki mimpiku adalah alam bawah sadarku sendiri, namun karena mimpi yang ini aku nggak ingat secara utuh jadi aku nggak yakin. Yang pasti seperti yang pernah kubilang 'mimpi adalah puzzle yang terbuat dari kumpulan potongan puzzle memori atau ingatan dari dunia nyata yang berbeda-beda, membentuk puzzle baru' jadi dari sebagian memori dari dunia nyata berkumpul dan menyatu menjadi kisah baru atau bangunan baru dan terangkai jadi hal baru yang sama sekali beda dari dunia nyata. 

Jadi terasa familiar tapi nggak sama.
Kembali ke mimpiku, aku berjalan sampai ke sesuatu yang familiar tapi berbeda dengan dunia nyata.

Aku berjalan sampai melewati rumah tetanggaku di Kajen (sebuah kecamatan di kabupaten Pekalongan). Tetanggaku ini di dunia nyata berjualan buku, jadi informasi dari dunia nyata ini juga masuk ke dalam mimpiku.

Saat itu masih pagi, jadi seharusnya kios pak Dar (nama tetanggaku yang jualan buku) belum buka.

Mataku mencari-cari di mana kios pak Dar? Seharusnya ada disekitar sini? Seingatku kiosnya memiliki rolling dor horizintal yang digulung ke atas bewarna abu-abu. Tapi dalam mimpiku nggak ada. Hehehe. Cuma sebelah kios pak Dar memang ada ~Posyondu~ Posyandu bu Rohani, tempat aku biasa periksa waktu kecil tiap sakit.

Dalam mimpiku, meskipun aku mengenali tempat itu sebagai tempat yang familiar, namun apa yang kulihat sama sekali berbeda dengan kenyataannya. Well alam bawah sadar nggak melulu membangun mimpi 100% mirip pleg dengan aslinya.

Kulihat ada bapak-bapak tua yang kuasumsikan sebagai pak Dar yang baru pulang dari suatu tempat. Dia telanjang dada dan membawa handuk di pundaknya dan gayung ditangan kanannya berisi peralatan mandi (yah di sini mulai ganjil).

Dia melewatiku begitu saja tanpa menyapaku, membuka gerbang garasi rumahnya yang terbuat dari logam las-lasan berkilau (yang ini nggak sesuai dunia nyata) dan masuk ke rumahnya seolah-olah aku tak ada, atau mungkin eksistensiku di situ memang nggak ada.

Yang pasti aku terus berjalan, setelah rumah pak Dar dan Posyandu, sesuai dunia nyata aku akan melewati sungai dan sampai ke area pasar Kajen.

Meski sepi (mungkin karena masih pagi) tempat itu padat seperti selayaknya pasar. Ada terpal-terpal di pasang menaungi jalan. Terpal-terpal plastik warna oranye dan biru. Warna yang umumnya kau temui di pasar manapun.

Tapi bangunan di area itu begitu tinggi, bahkan hingga nyaris menutupi langit dan hanya menyisakan sedikit area bebas-atap untuk melihat awan dan membiarkan sinar matahari masuk dan lewat. Tapi dalam mimpiku yang settingnya pagi, matahari masih jauh di sebelah kiriku, di Timur mata angin.

Lalu aku mengintip ke salah satu lubang di bangunan. Entah jendela, pintu, rolling door terbuka? Aku nggak tahu, yang pasti lubang itu besar, persegi dan berbingkai kayu bercat coklat tua kemerahan.

Aku juga nggak yakin pemandangan apa yang kulihat di dalamnya? Kalau nggak salah seorang ibu yang menggendong anaknya yang masih kecil dan meninabobokannya dengan senandung yang lembut sambil mengayun-ayunkannya dengan lembut dalam dekapan tangannya yang menggendong.

Lalu aku terbang dan memastikan tubuhku rapat ke bangunan sebelah kiriku dan memastikan aku tak terbang di depan jendela untuk memastikan aku tak terlihat orang. Tapi begonya aku jelas bisa terlihat dari jendela sisi kananku.

Saat itu matahari mulai naik dan menyinari tubuhku. Memantulkan bayangan gadis yang terbang di tembok putih sisi kananku. Aku ingat jendela-jendela dibangunan itu jendela kayu tanpa kaca yang juga bercat coklat tua kemerahan.

Aku terbang dengan hati-hati. Menghindari atap balkon dan melewati area bebas-atap berbentuk persegi panjang.

Dari situ terbangnya langsung lompat atau melintas cepat ke atap bangunan ikonik di alun-alun kota. Bangunan itu campuran benteng, masjid dan bangunan ikonik Paris (bukan Eiffel ya) dan mendarat di atapnya yang terbuka. Bangunan itu terbuat dari marmer, dari depan kelabu, tapi saat masuk  warna kuning, sekuning marmer yang pernah kupegang di jual di toko swalayan Sri Ratu.

Lalu aku menjelajahi bangunan itu dan mulai menuruni tangganya. Aku nggak ingat memasuki bagian dalamnya, tapi aku memutari balkonnya.

Di salah satu balkonnya aku menunduk dan melihat kakakku dengan dua teman dekatnya lagi ngobrol dan makan sosis warna-warni dengan saus sambil ngobrol.

Aku melihat kakakku dari lantai dua, lalu alam bawah sadarku membentuk dan memasukkan informasi ke dalam kepalaku bahwa pagi ini kakakku memang izin keluar rumah ke ibuku.
Dia mengenakan kemeja biru tua tipis bahan katun sejuk dengan motif kecil yang tidak dia miliki di dunia nyata dan kerudung abu-abu yang juga tak dia miliki. Outfit yang sama hanyalah kacamata yang sudah menjadi khasnya sejak SMA.

Sadar ada yang memperhatikannya. Kakakku iseng memanggil namaku, "Meeellll...." lalu secara usil aku menjawabnya untuk mengejutkannya. "Apa?"

Kakakku kaget karena panggilan isengnya di sahut dan langsung menengok ke belakang lalu mengedarkan matanya ke atas dan mendapatiku yang tertawa nelihatnya agak kaget karena mendapat kunjungan tak terduga dari aku. Dia nggak tahu kalo aku datang ke situ terbang. Hehehe.

Lalu mimpi pun berakhir dan aku terbangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar